TETANUS
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu toksemia akut
yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani
ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease
". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian
dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan
dari tetanus. ( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya
masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).
ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram
positif; Cloastridium tetani Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang
terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi
dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus
sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu
persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.
PATOGENESE
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan
spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b.Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine
) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari
toksin oleh cerebral ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik
Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine
Kerja dari tetanospamin analog dengan
strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan
cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya
kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus.
Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi
yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga
timbul spasme otot yang khas .
Ada
dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik
dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk
kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
PATHOLOGI
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer
secara ascending bermigrasi secara sentripetal atau secara retrogard mcncapai
CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari sarung parineural. Teori
terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah
(hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek
(1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ).
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
- Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
- Cephalic Tetanus
- Generalized tetanus (Tctanus umum)
Kharekteristik dari tetanus
- Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
- Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
- Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
- Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot masetter.
- Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
- Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
- Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
- Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
- Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Ad 1. tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot
yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan
fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif
dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan
kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik
tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
Ad.2.
Cephalic tetanus
Cephalic tetanus
adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang
berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Ad.3
Generalized Tetanus
Bentuk ini yang
paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan
otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam
otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Ad.4.
Neotal tetanus
Biasanya
disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan
menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Sedangkan berikut
ini pada tabel 2. Memperlihatkan material yang dipergunakan untuk tali pusat.
TABEL
2. : MATERIAL UNTUK TALI PUSAT
Jadi dari tabel
diatas ( Tabel 2 ) terlihat dari 29 kasus ( 35,37 % ) biasanya mereka
mempergunakan alkohol /spiritus untuk perlindungan terhadap tali pusat,
sedangkan 26 kasus ( 31,70 %) mereka mempergunakan material yang berbeda berupa
herbal origin.
DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus
dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa
:1.Gejala klinik
-
Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2.
Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C.
tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK
meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
DIAGNOSIS
BANDlNG
Untuk
membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali dijumpati
dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK
dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta
riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran
yang tetap normal.
Berikut
ini Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus
Tabel
3. : DIAGNOSIS BANDING TETANUS
PROGNOSIS
Prognosis
tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
- Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
- Sedang; bila sekali muncul kejang umum
- Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi
Masa inkubasi
neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun
lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus
neonatal jelek bila:
- Umur bayi kurang dari 7 hari
- Masa inkubasi 7 hari atau kurang
- Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
- Dijumpai muscular spasm.
KOMPLIKASI
Komplikasi
pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pematasan
atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta
kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa
terjadi rhabdomyolisis dan renal failure
PENATALAKSANAAN
A. UMUM
Tujuan terapi ini
berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah
spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sbb :
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
- Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B.
Obat- obatan
B.1.
Antibiotika :
Diberikan
parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat
diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis
). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/
24 jam, dibagi 6
dosis selama 10 hari.
Antibiotika
ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan
B.2. Antitoksin
Antitoksin
dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U,
satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena
karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila
TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar
B.3.Tetanus
Toksoid
Pemberian
Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi
dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut
ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan
luka
Tabel 4. : PETUNJUK
PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA.
___________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI
Luka bersih, Kecil Luka Lainnya
__________________________________________________
(dosis) Tet.
Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin
___________________________________________________________________
Tidak diketahui ya
tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya
ya
2 ya tidak ya
tidak*
3 atau lebih
tidak** tidak tidak** tidak
___________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5
tahun
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun
B.4. Antikonvulsan
Penyebab utama
kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan
laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 5 : JENIS
ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat Dosis
Efek Samping
________________________________________________________
Diazepam 0,5 – 1,0
mg/kg Stupor, Koma
Berat badan / 4 jam
(IM)
Meprobamat 300 –
400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 –
75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 –
100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
________________________________________________________
Di
Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti konvulsan yang
dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini diberikan melalui
bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian berikutnya
tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang.
Bila dosis optimum
telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang
tetap dan tepat baru dapat disusun.
Dosis diazepam pada
saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis
diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis
maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).
Bila
dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10
-15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara
drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan
penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang
yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi,
sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang
lainnya harus dilakukan
Pengobatan
menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset,
- 3000 - 6000 unit,
tetanus immune globulin satu kali saja.
- 1,2 juta unit
Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri
tetracycline 2 gram sehari.
- Perawatan luka,
dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
- Semua penderita
kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk mencegah
cyanosis dan apnoe.
- Paraldehyde baik
diberikan melalui mulut.
- Jika cara diatas
gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang
diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Sedangkan
pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu
juga promazine 6 jam dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat : 1.
Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2. Dilakukan
tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu
jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3.Curare
diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.
Pernafasan dijaga dengan respirator oleh
tenaga yang berpengalaman
4.Penderita rubah
posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah
conjuntivitis
5. Pasang NGT, diet
tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
6. Urine pasang
kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum
elektrolit, ureum dan AGDA
8. Rontgen foto
thorax
9. Pemakaian curare
yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika KU
membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian
dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
PENCEGAHAN
Seorang
penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama
seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya
kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk
kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena
tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam
konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada
beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C.
tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada
didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui
dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum
pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum
yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa
orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan
dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa
negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai
pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara
dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi
telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif( DPT atau DT ).
KEPUSTAKAAN :
Adams. R.D,et al :
Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-1207.
Behrman.E.Richard :
Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders Company,
1996, 815 -817.
Feigen. R.D :
Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson Textbook of
pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 - 620.
Glickman J, Scott
K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th, Info Acces
and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
Gilroy, John MD, et
al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
Harrison: Tetanus
in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill. Inc,New
York, 1994, .577-579.
Hendarwanto: llmu
Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987,
49- 51.
Hamid,E.D, Daulay,
AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in babies Delivered by
Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica Indonesiana,
Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia, Sept-Okt
1985, 167 -174.
Krugman Saaul, Katz
L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of children, ed. 9 th,
St Louis, Mosby, 1992, 487-490
Lubis, CP:
Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33, Depart. Of
Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993, 201-208.
Lubis, CP :Tetanus
Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Peny. lnfeksi, bag II,
Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.
Menkes, JH:
Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and
Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.
Peter. G. Red Book,
Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American Academy of
Pediatrics, 1997, 518-519.
Scheld, Michael W.
Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York, 1991, 603
-620..
Srikiatkhachord
Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993, 1- 13.
Samuels, AM.
Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle Brown, and
Company, Boston, 1978, 387-390.
Scaletta, T A.
Schaider, JJ. Infection prophylaxjs, Emergent Management of Trauma, 1 th ed,
McGrawhill, Toronto, 1996, 437-438.
Simon, Roger.P.MD,
et. all : Tetanus in: Clinical Neurology, ed 1989,Appleton and Lange,USA,
141-142.
Wegwood, RJ .Davis,
DS. Ray, GC. Kelley, Vc: Infections of Children, 2 nd ed, Philadelphia, 1982,
626-636.
Demikian, semoga bermanfaat.
Salam
DA
Baca selengkapnya
1 komentar:
tx banget infonya, jadi ngerti masalah kesehatan
Posting Komentar